Jumat, 10 Januari 2014

HIBRIDISASI DAN GINOGENESIS

HIBRIDISASI DAN GINOGENESIS


Pengembangbiakan ikan merupakan salah satu kegiatan dari  proses budidaya ikan. Ikan yang akan dibudidayakan harus dapat tumbuh dan berkembang biak agar kontinuitas produksi budidaya dapat berkelanjutan. Untuk mendapatkan ikan yang berkualitas banyak langkah yang telah dilakukan para pembudidaya. Dimulai dari metode hibridisasi, sex reversal, poliploidisasi hingga selektif breeding. Poliploidisasi merupakan salah satu metode manipulasi kromososm untuk perbaikan dan peningkatan kualitas genetik ikan guna menghasilkan benih ikan dengan keunggulan pertumbuhan cepat, toleransi terhadap lingkungan, resisten terhadap penyakit, dan persentase daging tinggi.
Manipulasi kromosom mungkin dilakukan selama siklus nukleus dalam pembelahan  sel, dasarnya adalah penambahan  atau pengurangan sel haploid  atau diploid. Pada ikan dan hewan lainnya dengan fertilisasi eksternal proses dapat dilakukan  untuk  salah satu gamet sebelum fertilisasi atau telur terfertilisasi pada beberapa periode selama formasi pada  zigot (Purdom, 1993). Salah satu metode manipulasi kromosom adalah ginogenesis.
Lingkungan budidaya merupakan kegiatan yang cakupannya sangat luas. Akan tetapi suatu pemgembangan akan pengetahuan yang digunakan untuk mengembangkan potensi tersebut. Suatu contoh aplikasi dari pengembangan tersebut adalah dengan teknik ginogenesis. Ginogenesis adalah suatu proses penurunan sifat maternal secara total melalui perkembangan telur tanpa kontribusi sperma secara genetik untuk menjadi embrio yang dimaksudkan agar keturunan yang dihasilkan bersifat homozigotik (cloning). Ginogenesis dapat terjadi secara alami dan buatan, namun pada ginogenesis alami jarang sekali ditemukan sperma yang membuahi telur dalam keadaan material genetik tidak aktif. Ginogenesis adalah suatu perlakuan untuk mengatasi masalah untuk menonaktifkan material genetik sperma dan merangsang diploidisasi terbentuknya zigot. Praktikum ini bertujuan agar praktikan dapat mengetahui cara melakukan proses ginogenesis pada suatu spesies ikan.
Hibridisasi adalah salah satu metode pemuliaan dalam upaya mendapatkan strain baru yang mewarisi sifat-sifat genetik dan morfologis dari kedua tetuanya dan untuk meningkatkan heterozigositas.  Semakin tinggi heterozigositas suatu populasi, semakin baik sifat-sifat yang dimilikinya. Hibridisasi pada ikan relatif mudah dan dapat menghasilkan kombinasi taksonomi yang bermacam-macam dan luas (Tave, 1988).
Hibridisasi dalam pengembangbiakan ikan sudah dikenal serta dilakukanorang untuk memeperbaiki sifat genetik ikan tertentu. Hibridisasi pada ikan dapat dilakukan antara ikan ras dalam satu spesies, antara ras dalam satu genus anataragenus dalam ras satu family atau berbeda family (Hickling 1971 Dalam Syamsiah2001). Hibridisasi ini bertujuan untuk mendapatkan benih dengan sifat lebih baik dari yang dipunyai tertuanya terutama dalam pertumbuhan, kematangan gonad,ketahanan terhadap penyakit serta lingkungan buruk, dan efesiensi pemanfaatanmakanan (Hardjamulia dan Suseno dalam Syamsiah 2001).Berdasarkan konsep di atas penggunaan sperma ikan mas (Cyrinus carpio) dapat diaplikasikan pada hibridisasi ikan komet (Carassius auratus), mengingatikan mas memiliki pertumbuhan cepat, dan memiliki kekerabatan yang cukup dekat dengan ikan komet. Hibridisasi yang dilakukan diharapkan dapat menghasilkan ikan komet Hibrid  yang memiliki mutu genetis yang lebih baik.
Ginogenesis adalah proses terbentuknya zigot dari gamet betina tanpa kontribusi dari gamet jantan. Dalam ginogenesis gamet jantan hanya berfungsi untuk merangsang perkembangan telur dan sifat-sifat genetisnya tidak diturunkan. Ginogenesis dapat terjadi secara alami dan buatan. Nagy et al,. 1978, menyebutkan ginogenesis adalah terbentuknya zigot 2n (diploid) tanpa peranan genetik gamet jantan. Jadi gamet jantan hanya berfungsi secara fisik saja, sehingga prosesnya hanya merupakan perkembangan pathenogenetis betina (telur). Untuk itu sperma diradiasi. Radiasi pada ginogenesis bertujuan untuk merusak kromososm spermatozoa, supaya pada saat pembuahan tidak berfungsi secara genetic (Sumantadinata, 1981).
Sedangkan ginogenesis buatan dilakukan melalui beberapa perlakuan pada tahapan pembuahan dan awal perkembangan embrio. Perlakuan ini bertujuan 1).  membuat supaya bahan genetik jantan menjadi tidak aktif  2). mengupayakan terjadinya diploisasi agar telur dapat menjadi zigot. Bahan genetik dalam spermatozoa dibuat tidak aktif dengan radiasi sinar gama, sinar X dan sinar ultraviolet (Purdom, 1993).
Tujuan Praktikum
Ø  Agar mahasiswa praktikan dapat mengetahui cara melakukan proses ginogenesis pada suatu spesies ikan.
Ø  Agar mahasiswa dapat mengetahui cara melakukan proses hybridisasi pada ikan
Ø  Agar mahasiswa mengetahui kelebihan hybridasasi dan ginogenesis


Waktu dan Tempat
Praktikum ini dilaksanakan pada hari Sabtu-Minggu tanggal  2013 bertempat di Laboratorium Pemijaha dan Pemuliaan Ikan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Riau.
Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan pada praktikum adalah wadah, lampu ultraviolet, sendok, bulu ayam, mangkuk, baskom, kertas tissue, pemanas air, stop watch, termometer, lempengan kaca. Bahan-bahan yang dipergunakan adalah ikan komet (Cyprinus carpio), sperma, telur, air panas,  larutan fisiologis.
Prosedur Kerja:
1.        Hibridisasi
Pelaksanaan praktikum melalui tahapan sebagai berikut: persiapan wadah 2 hari sebelum di lakukan praktikum, setelah itu  memlakukan seleksi induk ikan mas dan induk ikan komet, ikan yang telah terseksi maka di lakukan penyutikan induk ikan komet tersebut dengan dosis o,5 ml/ kg, penyuntikan di lakukan sebanyak 2 kali yaitu pada jam 20.00 wib dan 02.00 wib dini hari. Kemudian besok paginya pada jam 8.00 wib di lakukan striping pada induk ikan mas untuk menghasilakan sprema dan induk ikan komet telur ikan.
Setelah telur ikan telah di dapatkan maka di lakukan fertilisasi (pembuahan) yaitu pencampuran sprema dan telur ikan dan di tambahkan larutan pembuahan secukupnya. Kemudian di lakukan penebaran pada wadah yang telah di siapkan.

2.        Ginogenesis
Pelaksanaan praktikum melalui tahapan sebagai berikut: persiapan wadah 2 hari sebelum di lakukan praktikum. Kemudian melakukan fertilisasi yaitu dengan memcampurkan telur dan sprema ikan yang digunakan dan kemudian di tambahkan larutan pembuahaan untuk mengurangi daya rekat telur, setelah di lakukan fertilisasi dilanjutkan proses penyiran dengan mengunakan cahaya lampu atau ultraviolet selama 1 menit dengan jarak penyinaran ± 15 cm. Setelah dilakukan penyinaran dilanjutkan dengan perlakuan kejutan panas  (keju suhu) dengan suhu 40oC selama 3 menit di wadah perlakuan keju suhu. Kemudian telur diinkubasi dalam akuarium kaca dengan suhu air 28oC.

Hasil dan Pembahasan
1.      Hibridisasi
Dari hasil hibridisasi ikan mas (jantan ) dan komet (betina) yang telah di bagi kan perorang berupa sampel yaitu:
Jumlah total telur               : 211 butir
Terbuahi                            : 87 butir
Tidak terbuahi                   : 124 butir
Maka di dapatkan nilai % FR

= 41 %
Maka didapatkan % HR.

= 48 %
Dari hasil niali FR dan HR di golongkan kan rendah karena di angka keberhasilan tidak mencapai 50%, hal ini di sebabkan karena proses fertisasi kurang baik, dan kematangan induk kurang.
2.    Ginogenesis
Dari hasil ginogenesis ikan mas (jantan ) dan komet (betina) yang telah di bagi kan perorang berupa sampel yaitu:
Jumlah total telur               : 135  butir
Terbuahi                            : 38 butir
Tidak terbuahi                   : 97 butir
Maka di dapatkan nilai % FR

= 28 %
Sedangkan nilai HR adalah 0% karena terjadi kematian telur seluruhnya
Dari hasil niali %FR  dan %HR di golongkan kan rendah karena presentase keberhasilan tidak mencapai 50%, hal ini di sebabkan karena proses karena perlakuan yang kurang baik, kemungkinan nilai  umur zigot yang kurang.

DAFTAR PUSTAKA
Purdom. E.C. 1993. Genetics and Fish Breeding. Chapman and Hall. Fish and Fisheries Series. 277p
Sumantadinata, K., 1981. Pengembangbiakan Ikan-Ikan Peliharaan di Indonesia. Sastra Hudaya, Jakarta. 105 hal.

Nagy, A., K. Rajki. L. Horvart dan V. Csanyi. 1978. Investigation on carp (Cyprinus carpio L) ginogenesis. Jour. Fish. Biol. 13 : 215 – 224.

Selasa, 10 Desember 2013

Budidaya Ikan Kerapu Macan

I.                   PENDAHULUAN

Ikan kerapu merupakan komoditas ekspor yang bernilai ekonomis di pasar Asia terutama Singapura, dan Hongkong. Indonesia merupakan salah satu negara penyumbang terbesar ikan karang hidup selain Philipina dan Thailand. Produksi ikan kerapu saat ini sebagian besar berasal dari penangkapan dari alam. Melihat prospek yang masih meningkat sejalan dengan pangsa pasar yang memberikan peluang cukup besar dan tentunya menepati posisi yang strategis dan ekonomis.
Biologi kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) diidentifikasi pertama kali  oleh Weber and Beaufort (1931) dalam Balai Budidaya Laut Lampung (1999), keduanya mendeskripsikan ikan tersebut mempunyai bentuk badan yang memanjang gepeng (compressed) atau agak membulat, mulut lebar serong ke atas dengan bibir bawah menonjol ke atas. Rahang bawah dan atas dilengkapi dengan gigi geratan berderet dua baris, lancip dan kuat serta ujung luar bagian depan adalah gigi yang terbesar. Sirip ekor umumnya membulat (rounded), sirip punggung memanjang dimana bagian jari-jarinya yang keras berjumlah kurang lebih sama dengan jari-jari lunaknya, jari-jari   sirip   yang   keras  berjumlah 6–8 buah, sedangkan sirip dubur berjumlah 3 buah, jari-jari sirip ekor berjumlah 12–17 dan bercabang dengan jumlah 13–15. Warna dasar sawo matang, perut bagian bawah agak keputihan dan pada badannya terdapat titik berwarna merah kecoklatan serta tampak pula 4–6 baris warna gelap yang melintang hingga keekornya. Badan ditutupi oleh sisik kecil, mengkilat dan memiliki ciri-ciri loreng (Gambar  1)

KERAPU%20MACAN







Gambar 1. Kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus)

Menurut Randal (1987) dalam Balai Budidaya Laut Lampung (2001), klasifikasi ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) adalah sebagai berikut :
Phylum                                 : Chordata
Subphylum                           : Vertebrata
Class                                     : Osteichtyes
Subclass                               : Actinopterigi
Ordo                                     : Percomorphi
Subordo                               : Percoidea
Famili                                   : Serranidae
Genus                                   : Epinephelus
Spesies                                 : Epinephelus fuscoguttatus
Di Indonesia kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) banyak ditemukan di wilayah perairan pulau Sumatra, Kepulauan Riau, Kepulauan Seribu, Jawa Teluk Banten, Ujung Kulon, Kepulauan Karimun Jawa, Madura, Kalimantan, Nusa Tenggara, Sulawesi, Buru dan Ambon. Ikan ini lebih dikenal berasal dari Teluk Persia, Hawai atau Polynesia (Sunyoto,P  dan  Mustahal , 2002).
II.                PEMELIHARAAN KERAPU MACAN

2.1. Wadah
Untuk melaksanakan kegiatan budidaya di Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara digunakan berbagai macam wadah sesuai dengan fungsi masing masing. Selanjutnya Balai Budidaya Laut Lampung (1999), wadah pemiliharaan untuk adaptasi berukuran 5 x 5 x 1,25 m3 , wadah yang terbuat dari beton dengan tiga macam bentuk yaitu persegi panjang, segi empat dan bulat. Kolam persegi panjang digunakan untuk pemiliharaan induk dan pemijahan. Kolam segi empat untuk pemiliharaan benih sedangkan kolam bulat untuk pemiliharaan larva. Ukuran bak pemijahan yaitu dengan diameter 10 m kemiringan dasar 5 % kedalaman 3 m dan kapasitas daya tampung 225-235 ton, keuntungan penggunaan bak bulat adalah tidak mempunyai sudut sehingga distribusi Oksigen  lebih merata untuk pemiliharaan pada larva, yaitu larva dapat berenang lebih puas .     
2.2. Pengadaan dan Pemeliharaan Induk
Induk dapat berasal dari alam atau hasil budidaya.  Induk yang ditangkap dari alam harus yang sehat.  Ikan ini ditangkap dengan menggunakan alat tangkap berupa : bubu, pancing atau jaring.  Sebaiknya jangan menangkap induk dengan menggunakan bahan kimia karena dapat mempengaruhi induk ikan itu sendiri (Akbar, S dan Sudaryanto,  2002).
Calon induk yang berasal dari alam biasanya mengalami luka-luka akibat penangkapan dan penanganan yang kurang baik.  Ikan tersebut sebaiknya disehatkan terlebih dahulu dan diadaptasikan terhadap lingkungan pembenihan, sebelum dimasukkan ke wadah pemeliharaan induk. Pengobatan dapat  menggunakan Permanganat Kalicus atau Kalium Permanganat (KMnO4) yaitu dengan cara 1 gr KmnO4 dilarutkan dalam 90 cc air, lalu ambil 1 cc larutan tersebut ke dalam 1 liter air dan rendam ikan tersebut selama 30 menit. Mercurochroom dapat juga digunakan dengan cara diencerkan 10 kali yaitu menambahkan 1 bagian obat dengan 9 bagian air, lalu ikan diolesi.  Setelah itu ikan dimasukkan  ke dalam wadah dengan air mengalir sehingga pengaruh racun segera hilang karena obat ini bersifat racun bagi ikan (Sunyoto, P, 1993).
Slamet dan Cahyaningsih (2003) menyatakan bahwa aspek biologi reproduksi beberapa jenis ikan kerapu, telah dilakukan terhadap ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus), untuk membedakan induk jantan dan induk betina secara mudah dapat dilihat melalui penampakan tubuhnya.  Bagian perut induk ikan betina tampak lebih besar.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pada ikan kerapu macan induk betina mulai matang gonad pada ukuran panjang total 36 cm atau bobot 1,0 kg, sedangkan jantan mulai matang gonad pada ukuran panjang total 48 cm atau bobot 2,5 kg.  Induk yang digunakan untuk pembenihan dipersiapkan dengan baik agar hasilnya sesuai dengan yang diharapkan (Effendi, 2002).
2.3. Pemijahan
Pematangan gonad pada ikan kerapu macan dapat terjadi sepanjang tahun.  Hal ini sangat menguntungkan karena produksi telur tidak tergantung pada musim pemijahan. Namun ada beberapa faktor yang mempengaruhi pemijahan induk-induk yang sudah matang gonad yaitu faktor teknis dan non teknis.  Faktor teknis meliputi penanganan induk, seleksi induk, dan metode pemijahan, sedangkan faktor non teknis meliputi iklim, letak geografis dan kondisi lingkungan (Akbar,S dan Sudaryanto, 2002)
Pemijahan kerapu dapat dibagi menjadi tiga macam yaitu, pemijahan alami (natural spawning), pemijhan buatan (stripping atau artificial fertilization) dan penyuntikkan atau pemijahan melalui pemberian rangsangan (induced spawning).  Pada induk ikan kerapu yang telah dewasa dapat dipijahkan secara alami tanpa rangsangan hormon (Sunyoto,P  dan  Mustahal , 2002).
2.4. Pemanenan Telur
Slamet dan Cahyaningsih (2003) mengatakan bahwa pemanenan telur merupakan tahap awal penanganan pemanenan telur yang sangat menentukan terhadap kemungkinan penurunan mutu telur oleh karena masalah penanganan. Tahapan pemanenan meliputi pemasangan egg collector dan pemanenan telur, dalam pemasangan egg colektor telur harus memperhatikan beberapa hal yaitu mesh size kolektor telur dimana diameter telur kerapu macan 800-900 µ, dapat menggunakan mesh size yang 500-600µ dengan bentuk kolektor bulat dan persegi disesuaikan dengan bentuk bak kolektor. Untuk bak induk berukuran 100m³  dengan  sirkulasi   50-350 % per hari  dapat  menggunakan   egg    colektor  75x75x75 cm³.  Pemanenan   telur   dengan   kepadatan  rendah (<3 2-3="" agar="" dalam="" dapat="" dari="" di="" dilakukan="" dimaksudkan="" hal="" hari="" harus="" i="" ini="" jam="" juta="" karena="" kepadatan="" lebih="" malam="" mulai="" nbsp="" pada="" padat="" pagi="" pemijahan="" rusak="" sedangkan="" setelah="" telur="" terlalu="" tidak="" tinggi="" yang=""> egg colektor
pada waktu yang lama.
Selanjutnya Dirjen Perikanan Budidaya (2008) menyatakan bahwa pemanenan telur dari egg colektor dilakukan pada pagi hari sekitar pukul 07.00-08.00 WIB. Karena pada saat ini perkembangan telur sudah mencapai stadia embrio, hal ini untuk menghindari terjadinya kerusakan fisik telur dari gangguan pemanenan.
2.5. Fekunditas
Fekunditas adalah jumlah telur yang belum dikeluarkan  pada waktu ikan memijah, terdapat istilah lain dari fekunditas yaitu fekunditas nisbi adalah jumlah telur per satuan atau panjang ikan, dari jumlah telur yang dihasilkan dengan jumlah induk betina dapat diketahui fekunditas yang dihasilkan betina dalam satu siklus reproduksi (Slamet dan Cahyaningsih, 2003).
Menurut Hassa dan Carlos (1993) dalam Suciantoro, dkk (2004) fekunditas induk kerapu macan ukuran berat 1-3 kg antara 300.000 sampai dengan 700.000 telur. Dari produksi telur yang dihasilkan setiap periodenya hanya mampu diserap untuk kegiatan pembenihan sebesar 1.800.000 butir karena disesuaikan dengan kemampuan sarana dan prasana serta jumlah tenaga kerja yang dimiliki.
2.6. Penebaran Telur
Menurut Anonimus  (2003), sebelum dilakukan penebaran telur terlebih dahulu dilakukan penyeleksian telur yang telah ditampung didalam akuarium dengan cara mengangkat aerasi dan  didiamkan   telur   tanpa    aerasi   selama ± 6 menit. Selanjutnya dilakukan  penyiponan, telur yang mengendap, kemudian  diseleksi dan dihitung jumlahnya dengan metode sampling, setelah telur dihitung dapat dilakukan  penebaran di dalam bak pemiliharaan larva secara hati- hati dengan kepadatan 10 butir/liter. Penebaran telur sebaiknya dilakukan setelah telur mencapai stadia neurolla akhir.
Telur yang telah diseleksi kemudian siap ditetaskan.  Telur kerapu macan akan menetas 19 jam setelah pembuahan.  Pada awal penetasan aerasi dikecilkan, agar larva  yang baru menetas tidak teraduk-aduk.  Padat penebaran telur dalam bak 15-18 butir/liter (Anonimus, 2003).
2.7. Pemeliharaan Larva
Keberhasilan dalam pemeliharaan larva selain ditentukan oleh mutu telur dan ketersediaan pakan hidup, pengelolaan harian sangat berpengaruh terhadap keberhasilan tersebut.
Anonimus (1993) mengatakan bahwa larva yang baru menetas terlihat transparan, melayang-melayang dan gerakannya tidak aktif serta tampak kuning telur dan oil globulenya. Larva akan berubah bentuk menyerupai kerapu dewasa setelah berumur 31 hari. Perkembangan larva dapat dilihat pada Gambar 2.
larva

Gambar 2. Perkembangan bentuk larva ikan kerapu



2.8. Pendederan
Pendederan merupakan kegiatan pemeliharaan benih setelah dipelihara dalam bak pemeliharaan larva.  Wadah pemeliharaan berupa bak pendederan.  Menurut Sunyoto, P (1993)  tahapan pendederan adalah sebagai berikut  :
a.                    seleksi benih
Benih yang tidak seragam akan menyebabkan persaingan dalam memperebutkan pakan sehingga pertumbuhan yang kecil akan terhambat bahkan bisa mati karena dimangsa benih yang lebih besar.  Kegiatan pemilihan ini terus dilakukan dengan interval                     5-6 hari.sekali.

b.                  penebaran benih
Penebaran benih sebaiknya dilakukan pada pagi hari atau sore hari untuk menghindari stress karena kondisi lingkungan.  Sebelum ditebarkan, benih harus diaklimatisasi dalam bak pendederan.  Padat penebaran benih berukuran 1,5 cm berkisar 1-3 ekor / liter.
2.9. Pemberian Pakan
Pakan merupakan  faktor yang memegang peranan penting untuk menunjang keberhasilan kegiatan pendederan. Pakan yang digunakan hendaknya mempunyai kandungan nutrisi sesuai untuk benih serta dalam kondisi baik. Kebutuhan nutrisi untuk benih kerapu harus memliki kadar protein yang tinggi karena tergolong hewan karnivora. 
Benih kerapu yang digunakan untuk pendederan biasanya telah berukuran  antara 23 cm. Hal ini banyak memberikan kemudahan terutama dalam pemberian pakan, karena bukaan mulut yang dimiliki cukup besar. Pakan buatan  komersial yang tersedia terdiri atas berbagai ukuran, sehingga dalam penggunaannya disesuaikan dengan ukuran ikan. Sedangkan penggunaan ikan segar dapat dilakukan dengan menggunting ikan, sesuai dengan bukaan  mulut ikan  setelah bagian kepala, ekor, sirip dan isi perutnya dibuang (Sunyoto, P. dan Mustahal, 2002).
Anonimus (1993) menyatakan bahwa pemberian pakan sebaiknya diberikan secara adlibitum  sebanyak 56 kali dalam sehari (pukul 06.00, 10.00, 14.00, 18.00 atau pukul 06.00, 09.00, 12.00, 15.00, 18.00). Selama pemberian pakan, diusahakan tidak ada pakan yang tersisa agar tidak menimbulkan efek yang merugikan. Kelebihan pakan di dalam bak pendederan, akan menyebabkan pembusukan sehingga mempercepat proses penurunan kualitas air yang mengakibatkan stres pada ikan.
Untuk mengubah kebiasaan makan, awalnya benih diberi pakan yang sudah biasa diberikan (pakan lama), tetapi pada saat yang bersamaan mulai diberi pakan baru sedikit demi sedikit hingga benih mau memakannya.  Perbandingan pakan lama dengan pakan baru adalah 3:1 pada hari berikutnya dosis pakan baru ditingkatkan dan pakan lama dikurangi.  Diteruskan hingga semua benih terbiasa mengkonsumsi jenis pakan baru (Sunyoto, P dan Mustahal, 2002).
2.10.                    Pengelolaan Kualitas Air
Kualitas dan prosentase penggantian air sangat berpengaruh terhadap keberhasilan dalam kegiatan pendederan.  Pada masa pendederan benih memerlukan penggantian air mengalir secara terus menerus selama 24 jam.  Untuk menghilangkan sisa pakan, maka dilakukan penyiponan sesudah pemberian pakan.  Untuk menjaga agar kualitas air tetap baik, disamping penggantian air secara  mengalir, perlu dilakukan pembuangan air secara total pada  pagi dan sore hari  (Anonimus ,1993)
Kotoran dapat meracuni benih sehingga pergantian air perlu diperhatikan.  Biasanya pergantian air dilakukan setiap hari dengan cara   mengalirkan    secara    terus  menerus minimal sebanyak 200 - 400%  (Akbar, S dan Sudaryanto, 2002).
Parameter kualitas pembenihan ikan kerapu dapat dilihat pada Tabel 1 (Anonimus , 1993).
Tabel 1.   Standar mutu air Laut untuk pembenihan kerapu
No
Parameter
Kisaran Nilai
Satuan
1
Suhu
28 – 32
oC
2
Salinitas
30 – 32
ppt
3
Kesadahan
80 – 120
mg/l
4
pH
7 – 8
-
5
DO
> 5
ppm
6
Phosphat
< 0,1
mg/l
7
Amoniak
< 0,5
mg/l
8
Kecerahan
Maksimum
-
9
NO2-N
< 0,1
mg/l
10
NO3-N
< 0,5
mg/l

2.11.                    Hama dan Penyakit
Penanggulangan hama dan penyakit meliputi usaha-usaha pencegahan, pengobatan dan pemberantasan hama penyakit.  Usaha tersebut meliputi pemberian multivitamin, perendaman dengan kemoterapeutik, pemberian obat peroral (melalui mulut), dan desinfeksi bak-bak pemeliharaan (Akbar, S dan Sudaryanto, 2002).
a.       penyakit non infeksi
Menurut Balai Budidaya Laut Lampung (2001), beberapa penyakit non infeksi pada larva ikan kerapu karena faktor lingkungan antara lain : defisiensi oksigen, acidosis dan alkalosis, gas bubble deseases dan keracunan.
1.   defisiensi oksigen
Penyakit ini disebabkan karena larva di bak pemeliharaan terlalu padat, kelebihan pakan, kurangnya aerasi, sistem penyaringan yang kurang baik serta banyaknya kotoran di dasar bak yang menyebabkan terjadinya dekomposisi bahan organik.  Hal ini akan menyebabkan larva kekurangan oksigen yang akhirnya akan berpengaruh terhadap pertumbuhan. Gejala yang diperlihatkan adalah : larva berada di permukaan air dan sulit bernafas, yang akhirnya menyebabkan kematian.
2.  acidosis dan alkalosis
Larva ikan kerapu dapat hidup pada kisaran pH 6–8. Alkalosis terjadi bila pH mendekati 8 atau lebih. Gejala yang diperlihatkan adalah warna putih agak keruh, spina mengembang,
3.   gas bubble diseases
Bila kandungan oksigen sudah lewat jenuh, larva ikan akan mengalami  suatu penyakit yang disebut gas bubble diseases atau sering juga disebut clog yaitu gas yang menyumbat tenggorokan ikan. Gejala dan penanggulangan penyakit ini hampir sama dengan penyakit defisiensi oksigen
4.  penyakit karena keracunan
Amoniak merupakan racun yang sangat kuat terhadap semua jenis ikan. Pada pH di bawah 7 akan terbentuk amoniak non toksin (NH4+). Peningkatan pH akan mengakibatkan pembentukan amoniak bebas.  Amonium tidak berubah menjadi amoniak jika pH netral.  Amoniak yang bersifat racun pada tingkat lebih dari 0,3 mg/ltr, yang menyebabkan kerusakan kulit dan saraf pada ikan. Nitrat dan nitrit merupakan produk oksidasi dari amonia.  Zat-zat ini akan terbentuk pada tingkat amonium yang tinggi diikuti oleh adanya polusi bahan organik diperairan. Jika nitrit terakomulasi dan teroksidasi menjadi nitrat, maka racun yang ditimbulkannya akan fatal  bagi ikan.  Ikan akan tampak lesu dan mati secara tiba-tiba.

b.      penyakit infeksi
Menurut Balai Budidaya Laut Lampung (2001), penyakit infeksi  yang sering menyerang selama pembenihan ikan kerapu adalah sebagai berikut :
1.   penyakit parasiter
Parasit yang pernah menyerang larva kerapu  adalah cacing pipih golongan trematoda.  Larva yang terserang parasit ini berumur sekitar 18 hari.  Serangannya mencapai 2–3 %. Cacing ini banyak terdapat pada air media pemeliharaan dan sebagian menempel pada tubuh larva, yaitu pada bagian spina.  Tanda gejala serangan pada larva adalah : nafsu makan berkurang, warna tubuh pucat, gerakan larva lambat dan berenang di permukaan. 
2.  penyakit bakterial
Bakteri yang pernah ditemukan menyerang larva  adalah jenis Vibrio sp. Umumnya bakteri ini menyerang larva ikan umur sekitar 17 hari.  Bakteri ini bersifat patogen pada larva dan merupakan penyebab kematian yang besar  selain penyakit viral.  Ikan yang terserang bakteri Vibrio sp. tidak menunjukkan perubahan secara fisik, hanya saja pada saat gelap tubuh ikan tampak bercahaya dan larva kehilangan nafsu makan.
3.   penyakit viral
Penyakit viral yang pernah ditemukan pada larva kerapu adalah VNNV (Viral Nervous Necrosis Virus).  Virus ini sangat patogen dan merupakan penyebab kematian larva terbesar. VNN yang menginfeksi larva dapat mengakibatkan kematian total (100 %) dalam tempo yang relatif singkat (1–2 minggu).  Ikan yang terserang virus VNN tidak menunjukkan perubahan secara fisik. Gejala yang terlihat adalah terjadinya kematian secara masal dan tiba-tiba. Pada larva berumur kurang dari 20 hari, larva yang terinfeksi tidak menunjukkan tanda-tanda yang jelas, kecuali hilang nafsu makan yang diindikasikan dengan tersisanya pakan hidup yang diberikan.  VNN adalah jenis virus yang menyerang syaraf otak dan mata.  Mekanisme penularannya terjadi secara vertikal yaitu dari induk yang positif terinfeksi terhadap larva yang dihasilkannya.
2.11.1.  Panen dan Pasca Panen
a.       persiapan
Persiapan yang dilakukan adalah mempersiapkan peralatan panen yang akan dipergunakan seperti keranjang plastik, ember, jaring, gayung dan waskom, agar pemanenan dapat berjalan dengan baik (Anonimus, 2003).
Menurut Suciantoro, dkk. (2004) bahan dan sarana yang perlu dipersiapkan adalah: benih yang telah dipuasakan, kantong plastik poly ethylin dengan ketebalan plastik 0,6 mm berukuran  50 cm x 80 cm, kotak kardus atau insulator (styrofoam), selotip besar, oksigen murni, es batu dalam kantong plastik 0,5 kg yang dibungkus dengan kertas koran dan air laut bersih.
b.      pemanenan
Panen dilakukan dengan dua tahapan yaitu panen dari bak pemeliharaan larva dan bak pendederan. Pemanenan dilakukan secara hati-hati agar ikan tidak stres.  Sebelum pemanenan, ikan dipuasakan terlebih dahulu untuk mengurangi kotoran (Sunyoto, P dan Mustahal, 2002).
Penanganan yang salah saat panen dapat menyebabkan benih menjadi lemah bahkan mati. Demikian juga dengan teknik transportasi termasuk pengepakan, harus tetap memperhatikan kebutuhan biologis benih dan aspek ekonomi sehingga tidak terjadi penurunan mutu dan tetap ekonomis.  Suhu merupakan faktor pengendali penting yang sering dipakai dalam teknik pengangkutan hasil perikanan termasuk benih.  Penurunan suhu lingkungan dapat meminimalkan proses-proses fisiologis invitro, bila suhu rendah dan pH tinggi dapat menyebabkan metabolisme ikan menurun,  penurunan metabolisme dapat mempertahankan  kualitas media pengangkutan tetap baik (Anonimus , 1993). 
c.       pasca panen

Kegiatan pasca panen terutama pengangkutan menjadi faktor penentu mutu benih di lokasi pembesaran, transportasi yang biasa digunakan untuk benih dan telur ada dua cara yaitu: transportasi tertutup dan transportasi terbuka. Pengangkutan transportasi secara tertutup merupakan cara paling umum digunakan meskipun dengan jarak dekat karena hal ini aman dan mudah terlaksana.  Pengangkutan yang waktu angkutnya lebih dari 20 jam sebaiknya dilakukan pengemasan ulang terutama penggantian oksigen. Pengangkutan terbuka digunakan untuk jarak jauh dan jalan yang ditempuh melalui darat (Suciantoro dkk., 2004)