I.
PENDAHULUAN
Ikan
kerapu merupakan komoditas ekspor yang bernilai ekonomis di pasar Asia terutama
Singapura, dan Hongkong. Indonesia merupakan salah satu negara penyumbang
terbesar ikan karang hidup selain Philipina dan Thailand. Produksi ikan kerapu
saat ini sebagian besar berasal dari penangkapan dari alam. Melihat prospek
yang masih meningkat sejalan dengan pangsa pasar yang memberikan peluang cukup
besar dan tentunya menepati posisi yang strategis dan ekonomis.
Biologi kerapu
macan (Epinephelus
fuscoguttatus) diidentifikasi pertama
kali oleh Weber and Beaufort (1931) dalam Balai Budidaya Laut Lampung (1999), keduanya mendeskripsikan ikan tersebut mempunyai
bentuk badan yang memanjang gepeng (compressed)
atau agak membulat, mulut lebar serong ke atas dengan bibir bawah menonjol ke
atas. Rahang bawah dan atas dilengkapi dengan gigi geratan berderet dua baris,
lancip dan kuat serta ujung luar bagian depan adalah gigi yang terbesar. Sirip
ekor umumnya membulat (rounded),
sirip punggung memanjang dimana bagian jari-jarinya yang keras berjumlah kurang
lebih sama dengan jari-jari lunaknya, jari-jari sirip yang keras
berjumlah 6–8 buah, sedangkan sirip
dubur berjumlah 3 buah, jari-jari sirip ekor berjumlah 12–17 dan bercabang
dengan jumlah 13–15. Warna dasar sawo matang, perut bagian bawah agak keputihan
dan pada badannya terdapat titik berwarna merah kecoklatan serta tampak pula
4–6 baris warna gelap yang melintang hingga keekornya. Badan ditutupi oleh
sisik kecil, mengkilat dan memiliki ciri-ciri loreng (Gambar 1)

Gambar 1. Kerapu macan (Epinephelus
fuscoguttatus)
Menurut Randal (1987) dalam Balai Budidaya Laut
Lampung (2001), klasifikasi ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) adalah sebagai berikut :
Phylum :
Chordata
Subphylum :
Vertebrata
Class :
Osteichtyes
Subclass :
Actinopterigi
Ordo :
Percomorphi
Subordo :
Percoidea
Famili :
Serranidae
Genus :
Epinephelus
Spesies :
Epinephelus fuscoguttatus
Di Indonesia kerapu
macan (Epinephelus fuscoguttatus)
banyak ditemukan di wilayah perairan pulau Sumatra, Kepulauan Riau, Kepulauan
Seribu, Jawa Teluk Banten, Ujung Kulon, Kepulauan Karimun Jawa, Madura,
Kalimantan, Nusa Tenggara, Sulawesi, Buru dan Ambon. Ikan ini lebih dikenal berasal dari Teluk Persia,
Hawai atau Polynesia (Sunyoto,P dan
Mustahal , 2002).
II.
PEMELIHARAAN KERAPU MACAN
2.1. Wadah
Untuk melaksanakan
kegiatan budidaya di Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau (BBPBAP)
Jepara digunakan berbagai macam wadah sesuai dengan fungsi masing masing.
Selanjutnya Balai Budidaya Laut Lampung
(1999), wadah pemiliharaan untuk adaptasi berukuran 5 x 5 x 1,25 m3
, wadah yang terbuat dari beton dengan tiga macam bentuk yaitu persegi panjang,
segi empat dan bulat. Kolam persegi panjang digunakan untuk pemiliharaan induk
dan pemijahan. Kolam segi empat untuk pemiliharaan benih sedangkan kolam bulat
untuk pemiliharaan larva. Ukuran bak pemijahan yaitu dengan diameter 10 m
kemiringan dasar 5 % kedalaman 3 m dan kapasitas daya tampung 225-235 ton,
keuntungan penggunaan bak bulat adalah tidak mempunyai sudut sehingga
distribusi Oksigen lebih merata untuk
pemiliharaan pada larva, yaitu larva dapat berenang lebih puas .
2.2. Pengadaan dan
Pemeliharaan Induk
Induk dapat berasal dari alam atau hasil budidaya. Induk yang ditangkap dari alam harus yang
sehat. Ikan ini ditangkap dengan
menggunakan alat tangkap berupa : bubu, pancing atau jaring. Sebaiknya jangan menangkap induk dengan
menggunakan bahan kimia karena dapat mempengaruhi induk ikan itu sendiri (Akbar, S dan Sudaryanto, 2002).
Calon
induk yang berasal dari alam biasanya mengalami luka-luka akibat penangkapan
dan penanganan yang kurang baik. Ikan
tersebut sebaiknya disehatkan terlebih dahulu dan diadaptasikan terhadap
lingkungan pembenihan, sebelum dimasukkan ke wadah pemeliharaan induk.
Pengobatan dapat menggunakan Permanganat
Kalicus atau Kalium Permanganat (KMnO4) yaitu dengan cara 1 gr KmnO4
dilarutkan dalam 90 cc air, lalu ambil 1 cc larutan tersebut ke dalam 1
liter air dan rendam ikan tersebut selama 30 menit. Mercurochroom dapat juga
digunakan dengan cara diencerkan 10 kali yaitu menambahkan 1
bagian obat dengan 9 bagian air, lalu ikan diolesi. Setelah itu ikan dimasukkan ke dalam wadah dengan air mengalir sehingga
pengaruh racun segera hilang karena obat ini bersifat racun bagi ikan (Sunyoto, P, 1993).
Slamet dan Cahyaningsih (2003)
menyatakan bahwa aspek biologi reproduksi beberapa jenis ikan kerapu, telah
dilakukan terhadap ikan kerapu macan (Epinephelus
fuscoguttatus), untuk membedakan induk jantan dan induk betina secara mudah
dapat dilihat melalui penampakan tubuhnya.
Bagian perut induk ikan betina tampak lebih besar.
Hasil
pengamatan menunjukkan bahwa pada ikan kerapu macan induk betina mulai matang
gonad pada ukuran panjang total 36 cm atau bobot 1,0 kg, sedangkan jantan mulai
matang gonad pada ukuran panjang total 48 cm atau bobot 2,5 kg. Induk yang digunakan untuk pembenihan dipersiapkan dengan baik agar
hasilnya sesuai dengan yang diharapkan (Effendi,
2002).
2.3. Pemijahan
Pematangan gonad pada ikan kerapu macan dapat terjadi sepanjang tahun. Hal ini sangat menguntungkan karena produksi
telur tidak tergantung pada musim pemijahan. Namun ada beberapa faktor yang
mempengaruhi pemijahan induk-induk yang sudah matang gonad yaitu faktor teknis
dan non teknis. Faktor teknis meliputi
penanganan induk, seleksi induk, dan metode pemijahan, sedangkan faktor non
teknis meliputi iklim, letak geografis dan kondisi lingkungan (Akbar,S dan Sudaryanto, 2002)
Pemijahan kerapu dapat dibagi menjadi tiga macam yaitu, pemijahan alami (natural spawning), pemijhan buatan (stripping atau artificial fertilization)
dan penyuntikkan atau pemijahan melalui pemberian rangsangan (induced spawning). Pada induk ikan kerapu yang telah dewasa
dapat dipijahkan secara alami tanpa rangsangan hormon (Sunyoto,P dan Mustahal , 2002).
2.4. Pemanenan Telur
Slamet dan Cahyaningsih (2003) mengatakan
bahwa pemanenan telur merupakan tahap awal penanganan pemanenan telur yang
sangat menentukan terhadap kemungkinan penurunan mutu telur oleh karena masalah
penanganan. Tahapan pemanenan meliputi pemasangan egg collector dan pemanenan telur, dalam pemasangan egg colektor telur harus memperhatikan
beberapa hal yaitu mesh size kolektor telur dimana diameter telur kerapu macan
800-900 µ, dapat menggunakan mesh size yang 500-600µ dengan bentuk kolektor
bulat dan persegi disesuaikan dengan bentuk bak kolektor. Untuk bak induk berukuran 100m³ dengan
sirkulasi 50-350 % per hari dapat
menggunakan egg colektor
75x75x75 cm³. Pemanenan telur
dengan kepadatan rendah (<3 2-3="" agar="" dalam="" dapat="" dari="" di="" dilakukan="" dimaksudkan="" hal="" hari="" harus="" i="" ini="" jam="" juta="" karena="" kepadatan="" lebih="" malam="" mulai="" nbsp="" pada="" padat="" pagi="" pemijahan="" rusak="" sedangkan="" setelah="" telur="" terlalu="" tidak="" tinggi="" yang=""> egg colektor 3>
pada waktu yang
lama.
Selanjutnya Dirjen Perikanan
Budidaya (2008) menyatakan bahwa pemanenan telur dari egg colektor dilakukan pada pagi hari sekitar pukul 07.00-08.00
WIB. Karena pada saat ini perkembangan telur sudah mencapai stadia embrio, hal
ini untuk menghindari terjadinya kerusakan fisik telur dari gangguan pemanenan.
2.5. Fekunditas
Fekunditas adalah jumlah
telur yang belum dikeluarkan pada waktu
ikan memijah, terdapat istilah lain dari fekunditas yaitu fekunditas nisbi
adalah jumlah telur per satuan atau panjang ikan, dari jumlah telur yang
dihasilkan dengan jumlah induk betina dapat diketahui fekunditas yang
dihasilkan betina dalam satu siklus reproduksi (Slamet dan Cahyaningsih, 2003).
Menurut Hassa dan Carlos (1993) dalam
Suciantoro, dkk (2004) fekunditas
induk kerapu macan ukuran berat 1-3 kg antara 300.000 sampai dengan 700.000
telur. Dari produksi telur yang dihasilkan setiap periodenya hanya mampu
diserap untuk kegiatan pembenihan sebesar 1.800.000 butir karena disesuaikan
dengan kemampuan sarana dan prasana serta jumlah tenaga kerja yang dimiliki.
2.6. Penebaran Telur
Menurut Anonimus (2003), sebelum dilakukan penebaran telur terlebih dahulu dilakukan
penyeleksian telur yang telah ditampung didalam akuarium dengan cara mengangkat
aerasi dan didiamkan telur
tanpa aerasi selama ± 6 menit. Selanjutnya dilakukan penyiponan, telur yang mengendap,
kemudian diseleksi dan dihitung
jumlahnya dengan metode sampling, setelah telur dihitung dapat dilakukan penebaran di dalam bak pemiliharaan larva
secara hati- hati dengan kepadatan 10 butir/liter. Penebaran telur sebaiknya dilakukan setelah telur
mencapai stadia neurolla akhir.
Telur yang telah diseleksi kemudian siap ditetaskan. Telur kerapu macan akan menetas 19 jam
setelah pembuahan. Pada awal penetasan
aerasi dikecilkan, agar larva yang baru
menetas tidak teraduk-aduk. Padat penebaran telur dalam bak 15-18 butir/liter (Anonimus, 2003).
2.7. Pemeliharaan
Larva
Keberhasilan dalam pemeliharaan larva selain ditentukan oleh mutu telur dan
ketersediaan pakan hidup, pengelolaan harian sangat berpengaruh terhadap
keberhasilan tersebut.
Anonimus (1993) mengatakan bahwa larva yang baru menetas terlihat
transparan, melayang-melayang dan gerakannya tidak aktif serta tampak kuning
telur dan oil globulenya. Larva akan berubah bentuk menyerupai kerapu dewasa setelah berumur 31 hari. Perkembangan
larva dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Perkembangan bentuk larva ikan kerapu
|
2.8. Pendederan
Pendederan merupakan kegiatan pemeliharaan benih setelah dipelihara dalam
bak pemeliharaan larva. Wadah
pemeliharaan berupa bak pendederan. Menurut
Sunyoto, P (1993) tahapan pendederan adalah sebagai berikut :
a.
seleksi benih
Benih yang tidak seragam akan menyebabkan persaingan dalam memperebutkan
pakan sehingga pertumbuhan yang kecil akan terhambat bahkan bisa mati karena
dimangsa benih yang lebih besar. Kegiatan pemilihan ini terus dilakukan dengan interval 5-6 hari.sekali.
b.
penebaran benih
Penebaran benih sebaiknya dilakukan pada pagi hari atau sore hari untuk
menghindari stress karena kondisi lingkungan.
Sebelum ditebarkan, benih harus diaklimatisasi dalam bak
pendederan. Padat penebaran benih
berukuran 1,5 cm berkisar 1-3 ekor / liter.
2.9. Pemberian Pakan
Pakan
merupakan faktor yang memegang peranan
penting untuk menunjang keberhasilan kegiatan pendederan. Pakan yang digunakan
hendaknya mempunyai kandungan nutrisi sesuai untuk benih serta dalam kondisi
baik. Kebutuhan nutrisi untuk benih kerapu harus memliki kadar protein yang
tinggi karena tergolong hewan karnivora.
Benih
kerapu yang digunakan untuk pendederan biasanya telah berukuran antara 2–3 cm. Hal ini banyak memberikan
kemudahan terutama dalam pemberian pakan, karena bukaan mulut yang dimiliki
cukup besar. Pakan buatan komersial yang
tersedia terdiri atas berbagai ukuran, sehingga dalam penggunaannya disesuaikan
dengan ukuran ikan. Sedangkan penggunaan ikan segar dapat dilakukan dengan
menggunting ikan, sesuai dengan bukaan
mulut ikan setelah bagian kepala,
ekor, sirip dan isi perutnya dibuang (Sunyoto,
P. dan Mustahal, 2002).
Anonimus (1993) menyatakan bahwa pemberian pakan sebaiknya diberikan secara adlibitum sebanyak 5–6 kali dalam sehari (pukul 06.00, 10.00, 14.00, 18.00 atau pukul 06.00,
09.00, 12.00, 15.00, 18.00). Selama pemberian pakan, diusahakan tidak ada pakan
yang tersisa agar tidak menimbulkan efek yang merugikan. Kelebihan pakan di
dalam bak pendederan, akan menyebabkan pembusukan sehingga mempercepat proses
penurunan kualitas air yang mengakibatkan stres pada ikan.
Untuk
mengubah kebiasaan makan, awalnya benih diberi pakan yang sudah biasa diberikan
(pakan lama), tetapi pada saat yang bersamaan mulai diberi pakan baru sedikit
demi sedikit hingga benih mau memakannya.
Perbandingan pakan
lama dengan pakan baru adalah 3:1 pada hari berikutnya dosis pakan baru
ditingkatkan dan pakan lama dikurangi.
Diteruskan hingga semua benih terbiasa mengkonsumsi jenis pakan baru (Sunyoto, P dan Mustahal, 2002).
2.10.
Pengelolaan Kualitas Air
Kualitas
dan prosentase penggantian air sangat berpengaruh terhadap keberhasilan dalam
kegiatan pendederan. Pada masa
pendederan benih memerlukan penggantian air mengalir secara terus menerus
selama 24 jam. Untuk menghilangkan sisa
pakan, maka dilakukan penyiponan sesudah pemberian pakan. Untuk menjaga agar kualitas air tetap baik,
disamping penggantian air secara mengalir, perlu dilakukan pembuangan air
secara total pada pagi dan sore hari (Anonimus
,1993).
Kotoran
dapat meracuni benih sehingga pergantian air perlu diperhatikan. Biasanya pergantian air dilakukan setiap hari
dengan cara mengalirkan secara
terus menerus minimal sebanyak
200 - 400% (Akbar, S dan Sudaryanto, 2002).
Parameter kualitas pembenihan ikan kerapu dapat dilihat pada Tabel 1 (Anonimus , 1993).
Tabel 1. Standar mutu air Laut untuk pembenihan kerapu
No
|
Parameter
|
Kisaran Nilai
|
Satuan
|
1
|
Suhu
|
28 – 32
|
oC
|
2
|
Salinitas
|
30 – 32
|
ppt
|
3
|
Kesadahan
|
80 – 120
|
mg/l
|
4
|
pH
|
7 – 8
|
-
|
5
|
DO
|
> 5
|
ppm
|
6
|
Phosphat
|
< 0,1
|
mg/l
|
7
|
Amoniak
|
< 0,5
|
mg/l
|
8
|
Kecerahan
|
Maksimum
|
-
|
9
|
NO2-N
|
< 0,1
|
mg/l
|
10
|
NO3-N
|
< 0,5
|
mg/l
|
2.11.
Hama dan Penyakit
Penanggulangan hama dan penyakit meliputi usaha-usaha pencegahan,
pengobatan dan pemberantasan hama penyakit.
Usaha tersebut meliputi pemberian multivitamin, perendaman dengan
kemoterapeutik, pemberian obat peroral (melalui mulut), dan desinfeksi bak-bak pemeliharaan
(Akbar, S dan Sudaryanto, 2002).
a.
penyakit non infeksi
Menurut Balai Budidaya Laut Lampung (2001), beberapa penyakit non infeksi
pada larva ikan kerapu karena faktor lingkungan antara lain : defisiensi
oksigen, acidosis dan alkalosis, gas bubble deseases dan keracunan.
1. defisiensi
oksigen
Penyakit ini disebabkan karena larva di bak
pemeliharaan terlalu padat, kelebihan pakan, kurangnya aerasi, sistem
penyaringan yang kurang baik serta banyaknya kotoran di dasar bak yang
menyebabkan terjadinya dekomposisi bahan organik. Hal ini akan menyebabkan larva kekurangan
oksigen yang akhirnya akan berpengaruh terhadap pertumbuhan. Gejala yang
diperlihatkan adalah : larva berada di permukaan air dan sulit bernafas, yang
akhirnya menyebabkan kematian.
2.
acidosis dan alkalosis
Larva ikan kerapu dapat hidup pada kisaran pH 6–8.
Alkalosis terjadi bila pH mendekati 8 atau lebih. Gejala yang diperlihatkan
adalah warna putih agak keruh, spina mengembang,
3.
gas
bubble diseases
Bila kandungan oksigen sudah lewat jenuh, larva
ikan akan mengalami suatu penyakit yang
disebut gas bubble diseases atau
sering juga disebut clog yaitu gas yang menyumbat tenggorokan ikan. Gejala dan
penanggulangan penyakit ini hampir sama dengan penyakit defisiensi oksigen
4. penyakit
karena keracunan
Amoniak merupakan racun yang sangat kuat terhadap
semua jenis ikan. Pada pH di bawah 7 akan terbentuk amoniak non toksin (NH4+).
Peningkatan pH akan mengakibatkan pembentukan amoniak bebas. Amonium tidak berubah menjadi amoniak jika pH
netral. Amoniak yang bersifat racun pada
tingkat lebih dari 0,3 mg/ltr, yang menyebabkan kerusakan kulit dan saraf pada
ikan. Nitrat dan nitrit merupakan produk oksidasi dari amonia. Zat-zat ini akan terbentuk pada tingkat
amonium yang tinggi diikuti oleh adanya polusi bahan organik diperairan. Jika
nitrit terakomulasi dan teroksidasi menjadi nitrat, maka racun yang
ditimbulkannya akan fatal bagi
ikan. Ikan akan tampak lesu dan mati
secara tiba-tiba.
b.
penyakit infeksi
Menurut Balai Budidaya Laut Lampung (2001), penyakit infeksi
yang sering menyerang selama pembenihan ikan kerapu adalah sebagai
berikut :
1. penyakit
parasiter
Parasit yang pernah menyerang larva kerapu adalah cacing pipih golongan trematoda. Larva yang terserang parasit ini berumur
sekitar 18 hari. Serangannya mencapai
2–3 %. Cacing ini banyak terdapat pada air media pemeliharaan dan sebagian
menempel pada tubuh larva, yaitu pada bagian spina. Tanda gejala serangan pada larva adalah :
nafsu makan berkurang, warna tubuh pucat, gerakan larva lambat dan berenang di
permukaan.
2. penyakit
bakterial
Bakteri yang pernah ditemukan menyerang larva adalah jenis Vibrio sp. Umumnya bakteri ini menyerang larva ikan umur sekitar 17
hari. Bakteri ini bersifat patogen pada
larva dan merupakan penyebab kematian yang besar selain penyakit viral. Ikan yang terserang bakteri Vibrio sp. tidak menunjukkan perubahan
secara fisik, hanya saja pada saat gelap tubuh ikan tampak bercahaya dan larva
kehilangan nafsu makan.
3. penyakit
viral
Penyakit viral yang pernah ditemukan pada larva
kerapu adalah VNNV (Viral Nervous
Necrosis Virus). Virus ini sangat
patogen dan merupakan penyebab kematian larva terbesar. VNN yang menginfeksi
larva dapat mengakibatkan kematian total (100 %) dalam tempo yang relatif
singkat (1–2 minggu). Ikan yang
terserang virus VNN tidak menunjukkan perubahan secara fisik. Gejala yang
terlihat adalah terjadinya kematian secara masal dan tiba-tiba. Pada larva
berumur kurang dari 20 hari, larva yang terinfeksi tidak menunjukkan
tanda-tanda yang jelas, kecuali hilang nafsu makan yang diindikasikan dengan
tersisanya pakan hidup yang diberikan.
VNN adalah jenis virus yang menyerang syaraf otak dan mata. Mekanisme penularannya terjadi secara
vertikal yaitu dari induk yang positif terinfeksi terhadap larva yang
dihasilkannya.
2.11.1. Panen dan Pasca Panen
a.
persiapan
Persiapan yang dilakukan
adalah mempersiapkan peralatan panen yang akan dipergunakan seperti keranjang
plastik, ember, jaring, gayung dan waskom, agar pemanenan dapat berjalan dengan
baik (Anonimus, 2003).
Menurut Suciantoro, dkk. (2004) bahan dan sarana yang perlu dipersiapkan adalah:
benih yang telah dipuasakan, kantong plastik poly ethylin dengan ketebalan plastik
0,6 mm berukuran 50
cm x 80 cm, kotak kardus atau insulator (styrofoam), selotip besar, oksigen
murni, es batu dalam kantong plastik 0,5 kg yang dibungkus dengan kertas koran
dan air laut bersih.
b.
pemanenan
Panen dilakukan dengan dua tahapan yaitu panen dari bak pemeliharaan larva
dan bak pendederan. Pemanenan dilakukan secara hati-hati agar ikan tidak
stres. Sebelum pemanenan, ikan dipuasakan
terlebih dahulu untuk mengurangi kotoran (Sunyoto,
P dan Mustahal, 2002).
Penanganan
yang salah saat panen dapat menyebabkan benih menjadi lemah bahkan mati.
Demikian juga dengan teknik transportasi termasuk pengepakan, harus tetap
memperhatikan kebutuhan biologis benih dan aspek ekonomi sehingga tidak terjadi
penurunan mutu dan tetap ekonomis. Suhu
merupakan faktor pengendali penting yang sering dipakai dalam teknik
pengangkutan hasil perikanan termasuk benih.
Penurunan suhu lingkungan dapat meminimalkan proses-proses fisiologis
invitro, bila suhu rendah dan pH tinggi dapat menyebabkan metabolisme ikan
menurun, penurunan metabolisme dapat
mempertahankan kualitas media
pengangkutan tetap baik (Anonimus ,
1993).
c.
pasca panen
Kegiatan pasca panen terutama pengangkutan menjadi faktor penentu mutu
benih di lokasi pembesaran, transportasi yang biasa digunakan untuk benih dan
telur ada dua cara yaitu: transportasi tertutup dan transportasi terbuka.
Pengangkutan transportasi secara tertutup merupakan cara paling umum digunakan
meskipun dengan jarak dekat karena hal ini aman dan mudah terlaksana. Pengangkutan yang waktu angkutnya lebih dari
20 jam sebaiknya dilakukan pengemasan ulang terutama penggantian oksigen. Pengangkutan
terbuka digunakan untuk jarak jauh dan jalan yang ditempuh melalui darat (Suciantoro dkk., 2004)